Quantcast
Channel: Radioholicz
Viewing all 120 articles
Browse latest View live

Makan siang di warteg : perkuat di nasi!

$
0
0

Ketika kau hanya memiliki waktu selama 45 menit untuk istirahat siang, maka apa yang menjadi opsi pilihanmu?

Warteg. Sebuah tempat ajaib dimana semua kasta dilebur, dan semua penampilan bisa ditemukan. Lengkap dengan berbagai jenis lauk yang sesuai dengan isi kantong.

image by jakartapost.com

image by jakartapost.com

Rutinitas yang terjadi kemudian adalah datang, antri, sambil mencoba memikirkan akan makan siang dengan kombinasi lauk apa. Karena kombinasi ini nantinya akan menentukan seberapa tingkat kejenuhan menu makan siang selama seminggu. Sayur pare dan hati ayam? Kering kentang dan telur goreng? Sebuah pemikiran yang terkadang lebih sulit dari bermain Sudoku.

Tidak ada lagi sesi duduk-duduk ganteng sambil mengomentari tingkah laku para pengunjung yang lain. Semuanya hening dalam irama yang sama. Sesekali mungkin obrolan terucap. Tetapi kebanyakan semuanya makan dengan lahap. Entah karena lapar, ataukah karena melihat antrian orang yang kelaparan di luar warteg.

Tentu saja sensasi makan siang massal ini sesuatu yang baru. Bercampur dengan deru kendaraan yang seolah selalu bergegas, persoalan makan siang selalu menimbulkan tanya yang tidak berkesudahan. Pasalnya apa? Yaelah bro, kalau sudah sering terjun di dapur, pasti bisa menilai beberapa makanan tersebut sudah beberapa kali diolah. Awalnya di masak, lalu digoreng, kemudian ditumis lagi dengan bumbu. Aheuuuum. Tapi kadang memang pilihan yang sedikit membuat mentok ke warung yang itu-itu saja.

Beberapa pilihan makan siang yang ada antara lain :

a. Mie ayam, Mie Yamin dan bakso, ataupun kombinasi. Yang dimana entah porsinya yang sedikit atau karena memang mie nya yang kecil, seolah lambung tidak terisikan maksimal. Harga juga sedikit di atas rata-rata.

b. Warung nasi padang. Lauk enak, nasi yang sedikit. Oke sip.

c. Warung burjo. Indomie yang ada kalau bukan rasa ayam bawang, yang ada hanya kari ayam ataupun soto. Dimasak dengan campuran sawi hijau. Cukup oke, tapi cepat lapar lagi.

d. Masih menu warung burjo, kombinasi bubur kacang hijau dan ketan hitam, disajikan dengan beberapa helai roti tawar. Jangan tanya saya bagaimana rasanya.

e. Mpek-mpek Palembang. Oke sip, mari di skip.

f. Ketoprak. Well, hmmm, yaaah, tidak terbiasa dengan makanan ini.

g. Semua café dan tempat makan dalam mall yang terkadang harganya setara dengan makan di warteg selama sepekan. Dalam kasus ini mari berhemat, silahkan di skip.

Perjuangan makan siang di warteg kuncinya satu, perkuat di nasi. Terbiasa dengan warung pondokan di kampus? Seperti itulah suasananya. Cuma bedanya, kali ini rekan berjuang adalah para pekerja urban, yang terkadang harus menimbang ongkos pulang yang kemudian akan dikonversi dengan lauk apa saja.

Makan di warteg pun terkadang kita masih bertemu dengan mereka yang berdandan layaknya seorang fashionista (yang nista) tapi makannya juga semur jengkol. Pekerja yang selalu tampak rapi ketika bekerja, berkemeja, semuanya tampak sama. Ketika semuanya lapar, maka warteg menjadi layaknya sebuah pesta dengan keriuhan yang sama besarnya.

Satu yang saya perhatikan adalah beberapa olahan makanan selalu berbumbu. Entah itu tumis balado, tumis kari, ataukah tumisan dengan cabe besar dan banyak tomat. Belum lagi aneka masakan kering seperti kering tempe, atau kering kentang yang serupa sambal goreng yang sangat kering. Saya merindukan Pallumara yang terasa sederhana, dengan bumbu asam dan kunir tetapi kita masih bisa menikmati rasa ikan tanpa kehadiran bumbu yang tidak perlu.

Survival is for the fittest. Ketika opsi makan siang tidak sebanyak (atau tidak senyaman) biasanya, maka persoalan rasa kemudian menjadi nomor dua. Intinya perkuat di nasi dan kenyang dulu. Karena persoalan makan malam menjadi hal yang lain lagi.


Menunggu.

$
0
0

Apa yang bisa diajarkan sebuah kota kepadamu tentang lajunya yang begitu kencang? Saya selalu heran dan ternganga melihat ritme di ibukota. Kalau memang bisa dikatakan juga, saya sempat terbawa oleh riuhnya. Riuh melawan kemacetan, bergegas kesana-kemari. Karena perkiraan waktu bisa berdampak banyak. Macet salah satunya.

Ketika hidup tidak berjeda, apakah akan ada waktu untuk menghela napas?

Satu yang pasti adalah kota ini membuat saya kembali mengenali arti kata menunggu. Bersabar. Bahwa walaupun mungkin kau telah bersiasat dengan sedemikian rupa, selalu ada faktor X yang kemudian membuatmu harus lebih bersabar. Entah itu dengan jadwal kereta api, ataukah menunggu angkot yang akan melintas.

daylight

daylight

Maklum saja. Perjalanan di Makassar tidak pernah memakan jarak atau waktu yang berarti. Setiap tempat kemudian menjadi dekat, karena selalu ada Andra, sang motor Byson kesayangan yang siap diandalkan. Terkadang bahkan tidak ada jeda yang tersisa. Berpindah ke satu tempat ke tempat yang lain. Semuanya serba cepat.

Padahal tidak semua menunggu itu harus menyakitkan. Ketika perlahan saya bisa memperhatikan keadaan sekitar. Ada ribuan syukur yang harus diucapkan. Melihat penjual asongan menjajakan barang dagangannya, melihat mereka yang harus berjibaku dengan hidup, ataukah terkadang merasa miris, melihat laju ibukota yang terkadang tidak manusiawi.

Menunggu juga terkadang menjadi ironi. Ketika beberapa orang seperti sangat bergegas di jalan, mereka bahkan rela menunggu sesuatu yang berbeda. Seperti semalam, puluhan orang rela menunggu hampir 60 menit untuk mendapatkan pesanan martabak manis yang beroleskan cokelat mahal. Harganya pun menurut saya sangat mencengangkan, ketika 18 potong martabak harus ditebus dengan selembar uang seratus ribu. Asalkan rela menunggu, ada beberapa kenikmatan yang bisa didapatkan.

Tidak selamanya menunggu itu harus dilalui dengan gerutuan. Semuanya menjadi konsekuensi dari pilihan. Tidak ingin menunggu lama busway? Ya ambil kenyamanan itu dengan taksi. Tapi dengan imbalan yang tidak sedikit tentu saja. Inilah konsekuensi-konsekuensi yang memang harus berjalan dengan seharusnya. Bahwa memang terkadang siasat baru harus dilakukan, dan menjadikan waktu sebagai pembagi jeda yang sangat mumpuni.

Tidak selamanya kita harus merutuk jeda yang terselip. Ketika itu memberi ruang untuk berpikir, untuk bernafas sejenak. Bahwa hidup adalah ritme yang memiliki keseruannya sendiri. Selamat menunggu.

 

We knew this day would come
We knew it all along
How did it come so fast?

(Maroon 5 ~ Daylight)

Tentang Hidup.

[Travelogue] : (banyak) Jalan menuju Pulau Kelagian (bag. 1)

$
0
0

Berawal dari ajakan nona-kau-tahu-siapa, akhirnya saya berhasil menjejakkan kaki di seluruh pulau besar di Indonesia. Walaupun ukurannya sangat dekat dari Jakarta. Hanya 12 jam perjalanan dengan menggunakan bus malam. Setelah sempat tertunda, akhirnya pekan lalu rencana ini terealisasikan juga.

Surga yang akan kami tuju!

Surga yang akan kami tuju!

Mencari referensi tentang Pulau Kelagian sebenarnya agak susah-susah gampang. Rencana awalnya adalah teman nona-kau-tahu-siapa yang akan bertindak menjadi pemandu. Saya pun sisa menunggu hari. Menunggu itinerary akan beranjak kemana saja ternyata sang teman tersebut pindah tugas ke Jakarta. Well, acara harus tetap berlangsung, jadilah saya menjadi organizer untuk daerah yang sama sekali baru.

Bagaimana jadinya? Saya sendiri cukup antusias dengan rencana ini, artinya kami harus siap dengan informasi yang kosong dan akan berusaha menebak-nebak arah perjalanan. Sebagai tips untuk menyiapkan perjalanan seperti ini adalah cari informasi sebanyak-banyaknya! Mulai dari browsing hal-hal remeh temeh seperti rute angkot, sama nomor telepon penting yang bisa dihubungi di daerah tujuan nanti.

Ada beberapa objek wisata menarik di Kabupaten Lampung. Sebagai kabupaten yang terletak di ujung Pulau Sumatra, ada beberapa pantai dan pulau yang bisa dijadikan tujuan wisata. Kenapa informasinya masih sedikit? Barulah saya tahu di kemudian hari untuk mencapai lokasi-lokasi tersebut membutuhkan usaha yang berlebih.

Rencana menghabiskan akhir pekan di Kabupaten Lampung sangat memungkinkan. Rencana awalnya adalah menghabiskan sabtu di pulau dan minggu mengeksplor Kota Bandar Lampung. Ternyata rencananya tidak semulus yang dibayangkan.

Perjalanan dimulai dengan drama mari-berburu-bus-malam di tengah kemacetan ibukota di hari Jumat. Ada banyak opsi yang bisa dilakukan untuk mencapai Kota Bandar Lampung. Bisa dengan armada bus arah Pelabuhan Merak, kemudian menyambung perjalanan dengan kapal ferry. Sesampai di Pelabuhan Bakaheuni, ada banyak mobil yang bisa di sewa untuk mencapai kota Bandar Lampung.

Opsi yang lain adalah dengan menggunakan armada Damri dari Stasiun Gambir. Ada beberapa jenis bus yang sesuai dengan keadaan dompet. Kelas bisnis (135 ribu), Kelas Eksekutif (175 ribu) dan kelas Royal (205 ribu). Total perjalanan adalah sekitar 10 jam perjalanan. Sesampai di Pelabuhan Merak kita akan disuruh turun dari bus, dan kalau ingin masuk ke kelas Bisnis di Kapal Ferry, harus menambah lagi 8000 rupiah.

Pool damri yang masih sepi

Pool damri yang masih sepi

Sesampai di Pelabuhan Bakaheuni sekitar pukul 3 pagi, perjalanan akan dilanjutkan menuju pusat kota Bandar Lampung. Estimasi kedatangan di Kota Bandar Lampung adalah sekitar jam 5 atau jam setengah 6. Tujuan terakhir dari Damri tersebut adalah Pool Damri yang terletak di tengah kota. Sesuai dengan saran teman, kami memutuskan untuk ikut sampai Pool Damri, karena kombinasi subuh hari dan terminal sangat tidak disarankan. Ditambah lagi angkutan umum belum ada. Jadi kami menunggu pagi sambil bersih-bersih di Pool Damri.

Disinilah perjalanan sebenarnya akan dimulai, drama masih akan terjadi!

[Travelogue] : (banyak) Jalan menuju Pulau Kelagian (bag. 2)

$
0
0

Setelah browsing sana-sini, ada beberapa opsi yang bisa digunakan untuk mencapai Pulau Kelagian yang terletak di Kabupaten Lampung Selatan. Sabtu pagi perjalanan kami dimulai. Berbekal jurus sok-dekat-sok-kenal dengan seorang ibu di pool Damri akhirnya kami berhasil mengetahui rute angkot menuju Dermaga Penyeberangan. Sebenarnya untuk kenyamanan kami bisa menunggu Damri yang akan menuju area yang sama, tapi mesti menunggu waktu sejam lebih. Sementara matahari seolah tidak memberi kesempatan untuk menunggu lebih lama lagi.

Dari pool damri kami mengambil angkot warna biru jurusan terminal sawah besar. Harap diperhatikan bahwa jurusan setiap wilayah dibedakan berdasarkan warna angkot. Selalu amati apa warna dasar dan kombinasi yang ada. Terminal Sawah Besar letaknya tidak jauh dari Stasiun Kereta Api, cukup turun di dekat stasiun tersebut. Entah mengapa beberapa orang yang kami mintai petunjuk tidak menyarankan untuk masuk ke dalam terminal kalau memang tidak terbiasa.

Penampakan dari mobil pick-up rakitan menuju dermaga penyebrangan

Penampakan dari mobil pick-up rakitan menuju dermaga penyebrangan

Sesampai di Terminal Sawah Besar kami kemudian nyambung lagi dengan angkot berwarna ungu terong jurusan Gudang Garam. Kenapa dinamakan demikian? Karena dulunya di daerah tersebut terdapat pabrik garam yang cukup besar dan terkenal. Tahulah kami beberapa waktu kemudian bahwa semua rute angkot di Bandar Lampung dibagi menurut area dan ini informasi dasar yang harus diketahui. Sesampai di Gudang Garam, kita harus mencari angkutan lain lagi menuju Padang Cermin menuju Dermaga Klara. Kalau ingin membawa makanan ke pulau, di tempat menunggu kendaraan terdapat warung makan sederhana. Dengan harga yang murah, kami membungkus bekal nasi dan lauk pauk. Jangan lupa pula membeli cemilan secukupnya, karena sesampai di pulau akses benar-benar akan terputus.

Kendaraan terakhir yang kami tumpangi berupa mobil pick-up yang diberi tenda untuk menghalangi sinar matahari dan kursi panjang berhadapan. Sungguh pengap rasanya karena lubang angin hanya ada beberapa. Belum lagi perjalanan mencapai 20 kilometer lebih dengan kondisi jalanan yang berlubang dimana-mana. Sang sopir? Senantiasa menghantam lubang tersebut seolah kami semua penumpang di belakang layaknya barang dagangan.

Lain padang, lain pula belalangnya. Dari beberapa tulisan rintisan mengenai bepergian dengan angkutan kota di Bandar Lampung kami mendapat banyak masukan mengenai “harga” satu kali berpergian. Tarif umum di setiap kota, layaknya adalah 3000 rupiah untuk rute jauh dekat. Ternyata trik ini harus diantisipasi dengan sedemikian rupa, karena kalau tidak kita akan kena tipu kalau bertemu dengan sopir yang tidak jujur.

Dua kali kami harus membayar lebih untuk rute awal, padahal tariff sebenarnya adalah maksimal 4000 rupiah. Saya sempat bertanya kepada seorang ibu yang memiliki tujuan yang sama—intinya adalah jangan malu bertanya!—berapa tariff normalnya. Karena uang yang saya berikan 10 ribu rupiah untuk ongkos 2 orang, sesampai di tujuan sang sopir lantas melajukan kendaraannya. Keadaan tersebut kembali berulang ketika sampai di Gudang Garam. Sang sopir meminta tariff 5000 per orang, padahal yang lain hanya membayar 3000 rupiah.

Dan tololnya saya selalu membayar dengan pecahan puluhan ribu. Jadilah saya dua kali kena tipu. Untuk rute terakhir yang lumayan jauh, untunglah kami mendapat sopir yang baik. Di Gudang Garam jangan menunggu mobil yang sedang stamplas, karena mereka biasanya sudah memasang tariff tinggi. Apalagi ketika melihat ciri-ciri wisatawan (kere) yang tidak tahu arah. Untuk sampai di Dermaga Penyebrangan kami harus membayar 7500 rupiah. Itupun kami rencana memberi lebih, karena memang rutenya yang terjauh.

Suasana Pelabuhan

Suasana Pelabuhan

Apakah perjalanan sudah akan mencapai surga? Ternyata belum! Ketika melihat Dermaga Penyeberangan menuju Pulau Kelagian kami melihat opsi kapal yang akan menyeberang sangat sedikit. Dari informasi awal, saya mendapat tawaran 1 juta rupiah untuk 2 hari. Harga tersebut sudah termasuk hopping di beberapa pulau untuk snorkeling. Trik kami untuk mencari kapal on the spot untuk mencari harga murah ternyata salah strategi juga.

Untuk menyeberang kami menawar harga yang sangat alot dengan seorang pemilik kapal. Dengan kapal tipe semi speedboat, kami harus menebus 300 ribu untuk pulang pergi. Ingin hopping keliling pulau kami harus menambah 500 ribu lagi. Kami putuskan untuk menyebrang saja terlebih dahulu. Urusan keliling pulau kecil kami akan pikirkan belakangan.

Mari berangkat!

Mari berangkat!

Ternyata oh ternyata kami salah memilih tempat pemberangkatan. Umumnya para wisatawan memang akan diturunkan di dermaga penyeberangan tersebut. Padahal kalau ingin menyewa kapal tradisional yang lebih murah, kami harus berjalan lebih jauh kea rah Pantai Klara. Disinilah seluruh perahu tradisional dengan tarif relatif lebih murah. Toh, pelajaran selalu didapatkan ketika membuat kesalahan. Akhirnya setelah semua drama, jam 10 pagi kami sudah menginjakkan kaki di Pulau Kelagian.

[Travelogue] : Bisikan Sunyi Pulau Kelagian

$
0
0

Sesampai di Pulau Kelagian, mata kami segera dimanjakan oleh hamparan pasir putih dan air laut yang jernih. Sejauh mata memandang, hamparan pohon kelapa tampak memenuhi tepi pantai. Terdapat beberapa pondok atau saung kecil di bagian dermaga Pulau Kelagian. Batas saung ini kemudian menandakan area yang bisa dikunjungi. Selebihnya adalah hamparan bukit dan hutan di belakang gunung.

Pulau Kelagian

Pulau Kelagian

Tipologi pulau-pulau kecil yang berada di Kabupaten Lampung Selatan semuanya berupa gunung dengan hutan yang masih sangat hijau dan belum tersentuh. Berbeda dengan pulau-pulau kecil di lepas pantai Makassar yang berupa pulau datar dengan kombinasi pasir putih.

Catatan khusus adalah Pulau Kelagian merupakan pulau yang dijadikan sasaran tembak maupun arena tempur tentara Angkatan Laut. Nah loh! Oleh karenanya pulau ini tidak menjadi tempat wisata yang umum dan dikunjugi oleh kebanyakan orang. Rata-rata mereka memilih Pulau Pahawang Besar yang memiliki akses dan fasilitas yang lebih memadai. Tapi dimana menariknya?

Satu cerita khusus tentang Pulau Kelagian adalah ketika menanyakan akses menuju pulau-pulau di sekitar Pulau Pahawang, saya sempat membuat janji dengan seorang tukang perahu yang namanya saya dapat di blog. Dia menjelaskan dengan ramah bagaimana rute untuk berkunjung dengan nyaman dengan budget 500 ribu perhari. Tentu saja bagi kami yang melakukan trip hanya berdua, nominal tersebut sangat besar. Maka kami mencari alternatif-alternatif lain.

Ternyata sesampai di Pulau Kelagian, satu-satunya penginapan yang ada dikelola oleh tukang kapal tersebut! Alamakjang! Padahal kami telah mengatakan tidak jadi berkunjung pada akhir pekan tersebut.

Jadinya alternatif yang adalah menginap ala backpacker dengan peralatan seadanya di saung-saung di tepi pantai. Rasanya? Survival mode on. Jangan khawatir dengan konsumsi selama di pulau, karena ternyata ada 3 warung yang menjual makanan. Kami membayar 17 ribu rupiah untuk satu menu lengkap berupa nasi, sayur dan ikan goreng. Selebihnya, menu mie instan menjadi pilihan. Makanya kami agak salah berencana, hanya membawa jatah satu kali makan.

Bapak Than, yang menyambut kami bertugas sebagai guard dan penjaga kebun kelapa milik TNI. Kami dijelaskan bahwa pulau tersebut sering dijadikan area camping, tapi tentu saja dengan peralatan yang lengkap. Patut diketahui bahwa di pulau tersebut belum ada listrik. Penerangan yang ada hanya dari genset untuk menerangi penginapan dan satu warung. Bagaimana kami tidak mengatakan bahwa memang edisi perjalanan ke Lampung adalah perjalanan yang nekat?

Pemandangan dari atas kapal yang mengantar kami snorkling

Pemandangan dari atas kapal yang mengantar kami snorkling

Persoalan tempat tidur (bukan tempat nginap) beres, selanjutnya kami mencari akal bagaimana bisa hopping di pulau-pulau terdekat. Ada beberapa spot yang bisa dikunjungi, yaitu Pulau Pahawang Kecil, Tanjung Putus, dan beberapa pulau kecil lainnya. Kenapa kami harus memperhitungkan masalah biaya? Berkat ketololan dan kecerobohan, saya lupa mengambil uang di ATM. Salah perhitungan cuy! Padahal kami baru tiba.

Selalu ada jalan untuk mereka yang nekat. Selesai makan siang, kami melihat serombongan keluarga yang telah selesai berekreasi di tepi pantai. Ternyata mereka yang berkunjung ke Pulau Kelagian biasanya mengambil one day trip. Pergi pagi, pulang sore. Toh kalau ingin nginap, semuanya sudah direncanakan dengan matang. Berbekal dengan pertanyaan ala kadarnya, dan kami menyapa tukang kapal yang mengantar keluarga tersebut. Menanyakan dimana kalau ingin menyewa perahu untuk berkeliling. Ternyata di Pantai Klara seluruh perahu tradisional bisa disewa dengan harga yang lebih murah! Setelah menanyakan apakah Uda’ (ya, dia orang Padang) bisa mengantar kami berkeliling, dia pun mengiyakan. Dengan catatan sang keluarga yang diantarnya akan segera beranjak.

Tuhan memang baik, setelah nego harga (300 ribu rupiah!) kami beranjak menuju 3 spot, yaitu Kelagian Kecil, Pahawang Kecil dan Tanjung Gosong. Untuk mereka yang senang dengan freedive akan menemukan banyak spot menarik di 2 spot pertama. Tetapi karena saya masih trauma dengan episode hampir tenggelam di Gili Air, saya tidak terlalu menikmatinya. Barulah pada spot terakhir, dengan kedalaman 1 – 1,5 meter dengan visibility yang oke, saya mampu snorkeling hampir 1 jam. Di spot ini pula saya bertemu dengan keluarga clown fish yang ukurannya besar! Whooa!

Ya, ini 2 manusia nekat!

Ya, ini 2 manusia nekat!

Selepas snorkeling, kami kembali ke Pulau Kelagian untuk menikmati sunset. Saat itu asli hanya kami berdua yang berada di pantai. Bisikan sunyi dari deburan ombak, barisan pohon kelapa sangat terasa. Bagi kami yang telah berteman selama 13 tahun, perjalanan ini berarti banyak. Tidak hentinya kami saling bercerita tentang segala hal, bahwa memang ada hal-hal yang hanya bisa dimengerti oleh orang tertentu. Puncak sepi itu ketika kami memejamkan mata, menyaksikan perpindahan petang ke malam dan bermandikan bintang yang muncul satu-persatu.

Salah satu pulau kecil

Salah satu pulau kecil

Pulau Kelagian selalu memanjakan mereka yang ingin mencari jeda. Entah untuk sejenak atau beberapa lama. Akan disambutnya semua lamunan, keinginan, dan kesendirian dengan hangatnya. Tentu saja dengan catatan, apakah kalian bisa menangkis sepi yang ditawarkan oleh pulau ini?

Jessie J ~ Harder We Fall

$
0
0

So whatever path we chose to take
There will be highs, and there will be lows the same
Oh well never run from our mistakes
The harder we fall the harder we try.

*bahwa mungkin Jessie J belum kehilangan sentuhannya untuk memberikan semangat kepada orang lain. Alive penuh dengan vibe yang menyenangkan, “Am I asleep, no I’m alive.” Inilah salah satu track terbaik, bercerita tentang semangat yang sama di Who You Are. Rasanya semua orang membutuhkan lagu ini di pagi hari.

Tentang 28.

$
0
0

Beberapa orang berkata bahwa kau akan berdewasa ketika menempuh banyak peristiwa. Termasuk ketika berada jauh dari rumah, keluar dari semua zona nyaman. Selalu ada hal pertama yang dianggap sulit dan tidak mungkin. Ketika keterbiasaan serba ada kemudian digantikan oleh kemandirian untuk mengurus diri sendiri. Saya selalu percaya hal ini, bahwa ada hal-hal yang harus dijalani sendiri untuk menemukan banyak pelajaran.

You get some, you lose some selalu menjadi kata ajaib yang selalu saya bisikkan kepada diri sendiri ataupun beberapa sahabat yang sedang membutuhkan dukungan. Bahwa janganlah serakah dalam menjalani hidup. Saya kehilangan beberapa jejak kemapanan dari kantor, dan harus berjuang di mamakota dengan angka tabungan yang menurun secara signifikan. Tapi apa yang menanti saya? Dalam beberapa bulan lagi, sebuah perjalanan akan dimulai. Sebuah awal untuk masa depan yang entah bagaimana akan datangnya.

dalam sebuah perjalanan pulang

dalam sebuah perjalanan pulang

Saya bersyukur sempat merasakan jauh dari rumah selama 2 bulan, sebelum tanggal 14 Oktober. Sebuah angka yang telah saya hilangkan notifikasinya dari semua akun sosial media, berharap saya akan melewatinya dengan senyap. Memikirkan bahwa ada angka yang berkurang, dan menyadari bahwa ada tanggung jawab yang menunggu kelak. Apa yang telah kau lakukan dengan 28 hidupmu?

Awalnya saya berpikir untuk merayakan pergantian usia di sudut terjauh Indonesia. Bertualang sendiri di Pulau Weh, Kabupaten Aceh. Tapi beberapa hari terakhir, entah mengapa rindu begitu membuncah. Tarikan pulang begitu terasa. Bahwa ada sesuatu yang menunggu untuk diperlihatkan, dan ternyata begitulah adanya.

Ketika beberapa dunia tetap berjalan sebagaimana biasanya, ada kesedihan yang cenderung mengarah egois. Apa benar peranku cuma sampai disitu? Apakah tugasku kemudian bisa dengan mudahnya digantikan oleh pemikiran orang lain? Itulah titik dimana saya menoyor kepala sendiri dan seolah teriak,

“hello, memangnya kamu sehebat apa?”

Sejenak saya limbung. Memikirkan semua perjuangan yang saya jalani, dan harus merelakan semua kenyamanan yang telah saya bangun selama beberapa tahun. Tapi itulah yang membuat perjalanan yang terakhir menjadi lebih menarik, bahwa memang benar ada beberapa hal yang harus dilepaskan, untuk menjadi lebih baik. Tidak semua orang mempunyai kesempatan tersebut.

28 tahun menjadi angka tersendiri. Kepada diri sendiri telah terucap janji mengenai beberapa hal. Bahwa terkadang setiap perjalanan akan menemui ceritanya sendiri. Ada janji-janji yang harus dipenuhi dalam 2 tahun, sambil berusaha menjadi manusia yang lebih baik. Ketika di bulan Agustus saya melihat pelatihan ini sebagai sarana untuk melarikan diri dari pekerjaan, saat itulah saya salah memikirkan langkah selanjutnya.

Ketika hari berganti dan fokus tidak juga bertambah. Apakah saya akan merelakan sebuah zona nyaman untuk sesuatu yang tidak saya usahakan secara maksimal? Maka sampailah saya pada sebuah pemikiran bahwa memang kau harus melihat sesuatu dari jauh, untuk menyimak semua gambar besar yang terjadi. Jangan sampai penyesalan yang kelak akan datang di kemudian hari.

Untuk ibu dan bapak, izinkan anakmu untuk berjalan selama 2 tahun ini, sebelum kembali untuk menunaikan sebuah janji kepada diri sendiri, kepada semesta, dan kepada Maha Pemberi Kehidupan.

Terima kasih Ya Rabb, untuk 28 tahun yang telah terlewati.


One Republic : Jakarta, kalian gila!

$
0
0

Itulah pernyataan yang dilontarkan oleh Ryan Tedder selepas encore yang dilakukan dalam konser yang dihelat pada sabtu malam. Crowd yang sedari sore selalu berteriak menunggu kedatangan mereka seolah terpuaskan dengan set list yang didengungkan selama 2 jam penuh.

One Republic hadir sebagai salah satu pengisi acara yang dihadirkan oleh Guinnes dalam rangka memperingati Arthurs Day, sang pendiri Guinnes. 3 Artis yang menjadi highlight yaitu Club 8, One Republic, dan Mew. Setelah penampilan Club 8 dengan ambience teduh mereka, seluruh crowd pecah ketika One Republic mulai bernyanyi. Saya pun akhirnya bertemu dengan beberapa kru dari CreativeDisc lagi dan kami siap untuk berpesta bersama!

CreativeDisc Team!

CreativeDisc Team!

Lagu-lagu yang dihadirkan oleh One Republic sangat beragam, mulai dari track-track yang ada di album pertama sampai album terakhir mereka. Beruntunglah 3 track andalan saya juga dinyanyikan, Stop and Stare, Marching On dan All The Right Moves. Saya yang hanya mengikuti sampai album kedua, sempat kehilangan arah ketika beberapa track yang tidak familiar dinyanyikan dari album ketiga (selain Secrets dan Good Life tentu saja), tapi barisan penonton yang lain seolah tidak berhenti untuk terus berteriak.

Ryan Tedder tahu bagaimana cara memanjakan penggemar. Selain dengan penampilan yang sangat atraktif di atas panggung, dia selalu memperlihatkan kekuatan vokalnya yang prima. Seolah tidak lelah berlarian kesana kemari, tarikan vokalnya tidak pernah terdengar terengah-engah. Beberapa kali aksi falsetto diperdengarkan untuk beberapa lagu entah di bagian depan atau akhir lagu.

image via usum.co

image via usum.co

Dipertengahan konser, One Republic masuk ke area akustik, entah itu hanya dengan piano, ataupun gitar akustik. Inilah parade ketika koor massal memasuki puncaknya, terutama ketika Apologize dinyanyikan. Koor panjang terdengar sepanjang lagu, menyisakan beberapa orang dengan memorinya masing-masing. Mengingat bahwa track  yang diremix oleh Timbaland tersebut mengantarkan mereka ke puncak popularitas. Kejutan lain menanti ketika di penghujung lagu ini Ryan Tedder melakukan mash up dengan Just Cry Me a River kepunyaan Justin Timberlake dan We Found Love milik Rihanna. Jadilah sebuah parade koor yang sangat panjang.

Setelah sesi encore, Ryan Tedder mengenalkan seluruh personel One Republic ke panggung sambil berkomentar bahwa selain penonton konser yang sangat antusias, dia juga salut dengan pengendara motor di Jakarta yang selalu menantang bahaya. Ha! Selain itu dia juga berkomentar mengenai sunset yang terlihat di Jakarta, sebuah kota yang sangat jauh dari asal mereka. Selepas itu barulah track terakhir dinyanyikan.

If I Lose My Self yang digadang menjadi single andalan untuk album Native, album terbaru mereka menjadi sebuah penutup yang sempurna. Dengan microphone yang berubah menjadi light stick berwarna merah, seluruh penonton berdansa, mengikuti ritme dan sihir yang dibawakan oleh One Republic. Bahkan ketika bait terakhir diteriakkan, confetti beterbangan, semua orang rasanya belum puas, seolah masih ingin bernyanyi lagi dan lagi.

One Republic Rocks!

Kepada M, sebuah catatan di pagi hari.

$
0
0

Hai M, apa kabarmu? Jakarta sudah memasuki musim penghujan. Seringnya sore hari, ketika saya telah sampai dengan selamat di asrama. Sambil menyaksikan awan kelabu yang berubah menjadi gelap dan akhirnya hujan, saya membayangkan kamu. Berada diatas lantai sekian, melihat hujan yang juga turun sambil mendendangkan lagu favorit kita, Everybody’s Changing.

dark.

dark.

Aneh ya rasanya ketika satu lagu bisa menjadi tema untuk kapanpun, untuk siapapun. Rasanya saya juga sedikit demi sedikit berubah. Mengikuti ritme ibukota yang terkadang sangat tidak manusiawi, berusaha mematikan perasaan ketika melihat anak-anak di lampu merah, para pekerja yang harus melawan hari, sampai terkadang saya menohok kepala sendiri,

“untuk alasan apa saya mengeluh?”

Tahulah M, manusia sering dilanda kegamangan ketika sendirian. Memikirkan rutinitas yang seolah menjadi penjerat kebosanan. Dulu sewaktu kita masih sekota, mungkin saya dengan mudah akan menculikmu dari kantor. Bercerita panjang lebar sambil mengunyah pizza dan mabuk fruit punch. Sesekali saya hanya butuh melihatmu, karena wajah teduh itu tidak pernah berubah dari kuliah. Wajah yang meneduhkan seluruh angkatan, walaupun saya tahu ada gejolak yang tidak pernah berhenti di pikiranmu.

Gejolak itu sepertinya berpindah dikepalaku. Ketika tidak ada kamu, atau teman-teman lain yang bisa saya jadikan alasan untuk menikmati keriuhan. Mengenyahkan sepi yang sebenarnya selalu berteriak,

“apa lagi yang kau cari?”

Kamu pasti tahu kebiasaan buruk saya, akan bertanya kabar ketika sedang niat. Selebihnya saya akan diam, menjadi manusia pasif. Padahal terkadang kekosongan itu seolah menjadi kerangkeng yang sangat menjerat. Tahukah kau sudah beberapa kali saya minum kopi di gerai franchise sambil membaca buku? Seolah saya akan tampak intelek dan menikmati riuh ibukota. Ternyata salah.

Bukan masalah tempat M, tapi orang-orang yang hendak kau ajak berbagi bersama. Ingatkah kau keriuhan kita sewaktu menjenguk Charlie? Hanya berbekal teh kotak kita bisa berbagi apa saja, dengan orang-orang yang kita percaya akan menjaga perasaan kita. Saya begitu cengeng yah, selalu memikirkan euforia kenyamanan bersama kalian. Bagaimana kalau tahun depan saya pergi lebih jauh lagi?

Saya selalu mencari alasan itu, masih tetap ingin menemukan alasan untuk berubah menjadi kuat. Menjadi alasan saya menjalani hari demi hari di ibukota. Berharap bahwa kepergian saya kelak bukan lagi sebuah pelarian, saya mempunyai alasan untuk tinggal. Tahukah kau M, dalam sebuah perjalanan saya ke Bogor seminggu yang lalu, saya berpikir lagi sebenarnya apa tujuan saya?

Ketakutan mengenai apa tujuan selanjutnya selalu membayangi, setelah 2 tahun itu apa? Itulah mungkin yang belum kubisikkan kepadamu. Takut bahwa pengertianmu justru akan membawa saya kepada sebuah penyangkalan yang lain, padahal kita semua akan berubah M. Saya harus bertarung lagi melawan ketakutan masa depan dan menikmati waktu yang sekarang, Jakarta penuh dengan godaan!

Pagi ini saya mengingat kamu, sambil menyisipkan beberapa hal yang ingin saya bicarakan. Menyesap teh hijau dan menunggu nasi yang akan saya bawa untuk makan siang di kelas. Sebuah rutinitas yang kelak akan menjadi keseharianku, berharap setelah ini saya akan berjalan lebih tenang. Menikmati hari, menikmati hujan, sambil berpikir bahwa Tuhan telah menyiapkan semua rencana untuk kita.

Masih banyak ceritaku untukmu M, mudah-mudahan kau tidak bosan mendengarnya. Tahukah lagu apa yang saya dengar di penghujung tulisan ini? Maybe Tomorrow, lagu kesukaan kita berdua. Sebuah kebetulan yang menyenangkan. Semoga kita cepat menemukan jalan untuk pulang.

Sampai nanti M. :*

About Time; tentang menikmati hidup dan semua konteksnya.

$
0
0

It’s too good to be true, bahwa tidak semua hal bisa berakhir bahagia. Ada beberapa hal pahit yang harus dilalui, luka yang harus dijalani, semuanya akan berjalan berdampingan dengan semua peristiwa-peristiwa manis yang membuat utuh sebuah kehidupan. Ketika kita bisa memperbaiki sesuatu hal di masa lalu, apakah kau akan mengambil kesempatan untuk melakukannya?

image via theguardian.com

image via theguardian.com

Premis film About Time sangat sederhana sebenarnya. Ketika berkaitan dengan peristiwa dan efek kuantum, semua hal berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Tim Lake (Domnhall Gleeson) seperti ayahnya (Bill Nighy) dan kakeknya dan buyutnya adalah orang-orang yang diberi kemampuan untuk menjelajah waktu dengan beberapa syarat. Ayah Tim memilih untuk membaca semua buku yang bisa ditemuinya, sedangkan pilihan Tim adalah untuk menemukan apa yang disebutnya sebagai love-of-my-life.

Ketika bertemu dengan Mary (Rachel McAdams), disinilah perjalanan dan kompleksitas time-travel mulai berlangsung seru. Ternyata pertemuannya dengan Mary tidak pernah terjadi dalam sebuah kencan buta karena harus menyelamatkan pertunjukan teater sahabat ayahnya. Dia kemudian berusaha mencari Mary, masuk kedalam hidupnya dan menemukan beberapa fakta baru yang akan membuatnya kembali lagi ke masa lalu untuk memperbaiki sesuatu.

As things goes right, disinilah beberapa syarat time travel mulai terasa janggal dan menakutkan. Sebuah kecelakaan menimpa Kit-Kat, sang adik dalam perjalanan ke pesta ulang tahun anaknya. Dia “memperbaiki” sesuatu di masa lalu dan ternyata menemukan anaknya berubah. Syarat perjalanan waktu adalah kau tidak bisa melewati masa kelahiran seorang anak, karena dia akan tergantikan dengan kemungkinan baru. Siapa yang akan kaupilih, menyelamatkan seseorang atau tumbuh bersama anak yang tidak kau kenal?

Beberapa orang mungkin akan terasa familiar dengan pilihan ini. Ketika menyadari ada momen-momen tertentu di masa lalu yang ingin kita ketahui “alternatif” jalan ceritanya. Apa yang akan terjadi ketika saya memilih A ketimbang B? Apakah saya tetap orang yang sama? Apakah lingkungan tidak akan berubah? Sebuah pemikiran yang menarik dan menyeramkan disaat yang bersamaan.

Ketika Ayah Tim diketahui mengidap kanker, semua orang shock. Tim hanya bertanya kenapa sang ayah tidak berjalan kembali untuk memperbaiki (setelah mengetahui diagnosanya). Inilah salah satu inti film yang sangat saya benci tapi suka. Tentang hubungan ayah dan anak, serta tentang kenangan yang berada di dalamnya. Setelah ayahnya meninggal, dia kerap berkunjung ke masa lalu dan berinteraksi dengannya, sampai akhirnya Mary memutuskan untuk memiliki anak lagi.

Disinilah dia mengerti keputusan ayahnya untuk berpikir bahwa terkadang ada beberapa hal yang tidak perlu diperbaiki, untuk menjamin dan memastikan ada kehidupan lain yang sedang berlangsung.

image via huffingtonpost.com

image via huffingtonpost.com

Terdengar dan terlihat cheesy dan mudah tertebak? Hilangkan dulu logika ketika menikmati film ini. Semua orang tahu mengenai konsensus sebab-akibat, tapi silahkan nikmati pemandangan Cornwall yang sangat indah, keluarga Lake yang sangat “aneh” tapi menyenangkan, soundtrack penuh kejutan (wajib dikoleksi!) dan pikiran tentang semua kemungkinan pilihan-pilihan yang bisa kau ulang di masa lalu.

Yeah, hidup ini tetap menyenangkan, dengan semua pelajarannya sendiri.

Every now and then life says
Where do you think you’re going so fast
We’re apt to think it cruel but sometimes
It’s a case of cruel to be kind

(Ron Sexsmith – Gold In Them Hills)

Kepada M, cerita di penghujung minggu.

$
0
0

Halo M, apa kabarmu? Saya tahu kamu sangat merindukan November dan menikmati setiap harinya, seperti saya selalu bersemangat kala Oktober tiba. Adalah memiliki kehilangan itu yang biasanya bagian terberat, ketika kita terbiasa menikmati sensasi menunggu. Setelah tanggal sakral tersebut berlalu, terkadang ada perasaan gamang, dan kita hanya berkata,

“Hanya begitu saja?”

Bukan, saya tidak ingin membuatmu galau lagi. Selamat menunggu sampai hari kelahiranmu tiba tahun depan, dimana setiap angka yang bertambah kita diharapkan bisa lebih kuat, lebih tegar menghadapi hidup yang terkadang tidak adil.

Iya M, perkataan itu akhirnya saya dengar lagi. Setelah sekian lama saya berusaha berdamai dengan apa yang ditawarkan hidup, ternyata ada orang lain yang memiliki pikiran yang sama. Padahal dia baru saja menikah, tenyata drama yang dialaminya juga beragam. Kamu mengenalnya kok, 3 bulan sudah dia resmi melepaskan masa lajangnya. Apa coba kekurangan yang dia rasakan, ketika dia sudah menemukan separuh hidupnya?

Salah satu minuman favorit, Choco Oreo

Salah satu minuman favorit, Choco Oreo

Sesekali perhatianku terpecah ketika duduk di kafe bersama mereka. Teman-teman yang dulu sama-sama berjuang di bangku kuliah, siapa yang menyangka kami akan bercakap di tengah spot yang lagi happening di ibukota? Bahwa kemudian pertanyaan keadilan seperti apa lagi yang akan kau cari dari hidupmu?

Begitulah kita M, menjadi manusia yang selalu ingin membandingkan. Terkadang iri dengan keseharian seseorang, ingin berada dan berjalan di posisinya, tanpa pernah berpikir bahwa sebenarnya mereka juga berpikiran yang sama. Tahukah apa yang menjadi ketakutanku? Menjadi manusia yang berbeda dari keseharianku.

Bukannya saya pernah menceritakan tentang konsep paradoxnya isi kepalaku? Tentang kelakuan-kelakuan ekstrem yang bisa dalam sekejap bisa saya lakukan, hanya karena euforia sesaat. Ada mimpi yang seolah menjadi delusi, menciptakan keinginan untuk bisa hidup seperti isi majalah-majalah yang sering kita lihat itu M, menjadi makhluk rupawan yang kita puja. Yang walaupun kita tahu beberapa hanya polesan dan bentukan imaji, kita tetap ingin menjadi bagiannya.

Ingatkah kamu ketika kita hanya titik-titik dibelakang layar, berjalan semaunya, tanpa pernah berharap dilihat atau terlihat siapapun. Kita bebas menjadi diri sendiri, berjalan dari rektorat ke pintu 1, menikmati danau dalam sepi, atau hanya ingin berjalan dan berjalan saja. Manusia itu memang semakin kompleks yah M, ditambah pula sifat yang lebih banyak labil dan plin-plannya, terkadang begitu sulit untuk menjejak tanah, kalau saja tidak mengingat harus menabung dan hidup seperti biasa saja.

Adil dan tidaknya hidup kita yang menentukan. Iya kan M, seperti mantra kesukaan kita, you get some, you lose some. Itulah yang membuat hidup menjadi terasa menyenangkan. Ketika kamu merasa nyaman untuk duduk dan menjadi social climber di tengah club house di tengah ibukota, yah implikasinya mesti ngirit untuk jatah yang lain. Menjadi terlalu klise rasanya menemukan dan meyakinkan diri bahwa bahagia ada di tempat seperti itu. Sesekali saya perlu mengajakmu kesana mungkin M, dan kita akan bercerita tentang hidup, ditengah dentuman suara musik. Bahwa akhirnya saya tahu, ternyata itu hanya bahagia semu, bukan tempat untuk saya.

Selamat akhir pekan M, selamat berjalan kembali.

Tentang Dua

$
0
0

image

Aku berbicara tentang punggungmu, yang dulu pernah menjanjikan keteduhan di antara semua penat yang melanda. Aku melihatnya lagi hari ini, diantara barisan jejalan manusia yang tumpah ruah, dengan seragam biru khas yang memang kau pakai setiap selasa. Kau bergegas, hujan sebentar lagi menderas, tapi kenapa ingatanku semakin kacau dan melimpah ruah dengan barisan percakapan imajiner tentangmu?

(Potongan epilog “Tentang Dua”)

Kepada M, tentang jejakjejak.

$
0
0

Halo M, saya yakin kamu masih terlelap saat ini. Membalaskan sisi nocturnal yang kian membuas, yang hanya bisa dilampiaskan ketika hari libur tiba. Tahukah kau dimana saya berada sekarang? Menjadi bagian dari orang-orang yang berjalan, berpisah, mencoba mengejar pesawat di subuh hari.

Sebenarnya saya tidak pernah menyukai first flight, menghabiskan sebagian pikiran untuk tetap sadar, menyetel alarm, dan kemudian berpacu dalam lengangnya jalanan. Tetapi dibalik semua eskalasi ketegangan itu, yah tidak ada yang menyamai keadaan di ruang tunggu keberangkatan. Tentunya kau pun pernah berada di tempat ini. Aneh yah M, ketika kita bisa merasa rapuh dan kuat di saat yang bersamaan. Melepaskan kehilangan ataukah mencoba mencari mimpi yang terjejak di tempat lain.

Image by http://vi.zualise.us

Image by http://vi.zualise.us

Terakhir kau bercerita dan bertanya bagaimana tahun ini akan berjalan, dan resolusi apa yang akan kita ancang-ancang sebelum tahun baru tiba. Percakapan yang seolah menjadi basi ketika melihat kembali set-list do and don’t yang kita buat setahun sebelumnya. Ada yang terlaksana, ada yang harus dikompromi dan bahkan ada beberapa kebutuhan tambahan yang datang secara tiba-tiba.

Saya juga mencoba melacak kembali jejak-jejak itu M, jejak optimis dalam membuat rencana. Saya tidak ingin berkilah dalam frase, “toh Tuhan juga yang menentukan”, tapi bagaimanapun semua rencana itu merupakan akumulasi dari semua persiapan dan keinginan. Mungkin momentum terbesar saya tahun lalu adalah mendapatkan kesempatan untuk sekolah lagi. Kaupun sudah mengetahuinya M, bahwa ada alasan yang membuat saya harus berjalan sejauh itu. Untuk menemukan satu jawaban lagi. Bukankah hidup memang serangkaian pertanyaan-pertanyaan yang terkadang terasa menjemukan?

“Ataukah justru semestinya pertanyaan-pertanyaan itu dibiarkan tidak terjawab?”

Keheningan yang menyeruak dari ruang tunggu keberangkatan terkadang terasa mencekam. Ketika mengingat semua kemungkinan-kemungkinan bisa terjadi. Apakah kita bisa menggantinya dengan kata harapan? Dengan bermodalkan semangat saja, apakah esensi harapan itu akan terwujud? Entahlah M, saya juga masih berusaha sekuat tenaga mencernanya.

Perjalanan tahun lalu bisa jadi sangat menarik. Ketika persoalan hati (masih) menjadi persoalan besar. Bagaimana sebuah hubungan harus diakhiri dan bagaimana pertanyaan klasik itu berulang kembali di penghujung tahun. Di malam natal, di tengah hiruk pikuk mereka yang menyanyikan kidung dengan khidmat, suaranya masih terdengar jelas di kepalaku.

“Seberapa jauhkah kau berani untuk menjalani komitmen?”

Sebuah pertanyaan yang menghentak, ketika ternyata egois masih sangat mengakar. Menimbang dan berkilah bahwa bahagia ingin dikecup sendiri, tanpa harus memikirkan perasaan orang lain. Saya tahu kau sangat membenci laku seperti ini M, tapi entahlah. Sayapun belum siap untuk sakit (lagi)dan terlibat dalam semua ketidakpastian emosi tentang hubungan. Padahal perkataannya pun malam itu sangat jelas. Bahwa lebih baik menyisipkan dan menikmati bahagia yang ada di depan mata daripada tenggelam dalam ketakutan yang bahkan terasa tidak nyata.

Saya merasa kalah sekali lagi.

Bukankah hidup itu merupakan perayaan kemenangan-kemenangan dan kekalahan-kekalahan kecil? Semua larut dalam konsekuensinya masing-masing. Harga untuk kekalahan itu adalah tenggelam dalam kesunyian. Sebuah tempat yang anehnya terasa familiar untuk kita, melihat dunia dari kotak kaca. Semua kesunyian itu akhirnya terpatahkan oleh sebuah perkataan lain, hanya dalam sepekan. Perkataan seorang asing yang mengingatkan bahwa ada waktunya kita menunggu.

Seperti mereka yang menunggu di ruang tunggu bandara, saya pun hanya bisa membiarkan roda hidup juga terus berputar. Sambil menyiapkan semua rencana, menunggu pun rasanya tidak apa-apa. Ada bagian hidup yang akan terasa konstan, tetapi menyiapkan hati lagi adalah jalan terbaik. Siap untuk menjalani tahun baru yang katanya harus diisi dengan optimisme yang baru.

Selamat merayakan kehidupan M, mari menghancurkan kotak kaca kesunyian itu.

The Girl with Glass Feet; tentang menemukan harapan.

$
0
0

Barangkali Saint Huda adalah tempat terakhir yang ingin didatangi sebagai tempat liburan. Dengan suasana yang kelam, rawa-rawa, hutan tidak bertepi dan kabut yang menyelimuti semua bagian pulau, menyebabkan keterasingan yang misterius diantara semua makhluk yang hidup didalam buku The Girl with Glass Feet. Tentu saja termasuk mitos-mitos yang terdengar tidak masuk akal sekalipun.

Pun kedatangan Ida Mclaird sebagian besar untuk mencari tahu apa yang terjadi pada kakinya. Perlahan namun pasti kakinya berupa kaca, memperlihatkan urat-urat yang mengalirkan darah segar. Dimulai dari telapak kaki, berlanjut hingga ke pangkal paha. Semua pencariannya kemudian berbalik arah ketika bertemu dengan Midas Crook. Seorang pemalu, hidup dalam pikirannya sendiri dan lembaran-lembaran monokrom cetakan fotonya.

Ketika kisah kemudian mengalir, kita akan mengetahui penyebab Midas Crook menjadi seorang penyendiri. Saya selalu tertarik dengan hubungan ayah dan anak, psikologi yang kemudian tertoreh dan menjadi bekal bagaimana seseorang akan bersikap kelak. Midas yang kesehariannya hanya diisi oleh Gustav, sang sahabat, bersama Denver, anaknya, pelan-pelan menemukan sisi-sisi kemanusiaan yang membingungkannya. Bagaimana bersikap dengan semua deru emosi yang melanda.

“… jalanan itu menurun. Dua burung camar terbang melintas, saling berpagutan sembari terbang, dan Ida menangkap sekilas mata kuning mereka. Tak lama kemudian burung-burung itu telah menukik sejajar dengan laut, sangat dekat dengan ombak-ombak yang memecah dan semburan air laut yang membuat jalan mereka berkabut.” (hal. 265)

Dalam bab-bab selanjutnya kita akan menemui kepiawaiannya Ali Shaw dalam menangkap detail dan cerita yang berlapis. Kita akan bertualang bersama Henry Fuwa di rawa-rawa dengan sapi bersayap ngengat, tanah daratan yang misterius, sampai cerita mengenai hubungan orang tua Midas, serta kompleksitas emosi yang menyelimuti Ida dalam pencarian hal-hal yang bisa menyembuhkannya.

“Barangkali kau terlalu keras memikirkan kata-kata apa yang akan kau gunakan, dan bagaimana menyuruh mulutmu mengucapkannya” (hal. 73)

Percakapan tersebut hanya satu contoh dari banyak dialog indah yang tertuang dalam 425 halaman. Semuanya berujar dari sudut pandang setiap tokoh, memberikan kita kesempatan untuk menilai secara objektif untuk setiap tindakan, pikiran yang dilakukan. Walaupun akhirnya semua bermuara pada area abu-abu, tidak ada perkara benar dan salah. Di beberapa titik seolah semua keputusan diambil sambil berjalan dalam kabut pulau yang membingungkan.

Pada akhirnya semua pencarian tentang cinta akan bermuara pada pertanyaan, apakah saya telah melakukan yang terbaik? Apakah saya telah berjuang dengan sungguh-sungguh? Cerita ini akan mengajarkan kita tentang kehilangan, bagaimana bersiap untuk merelakan, sampai bagaimana menyikapi masa yang telah lalu. Seberapa siapkah kita?


Kings of Leon ~ Beautiful War

$
0
0

*Saya yakin bawa album Mechanical Bull memiliki banyak track yang handal setelah mendengar “Supersoaker” yang didaulat sebagai single andalan medio bulan Juli tahun lalu. Single yang lain, “Beautiful War” hadir dengan suasana yang jauh berbeda dengan keriuhan pendahulunya. Vokal Caleb Followil seolah mengawang-awang ditemani petotan bass Jared Followil. Berkisah tentang perjuangan, inilah salah satu track terbaik dari Kings of Leon.

Kata-kata

$
0
0

PicsArt_1392718042291PicsArt_1392701779106

PicsArt_1392717819276

PicsArt_1392718003388Tulisan diatas adalah potongan  dari tumblr penyanyi favorit saya, Tulus, yang merangkai banyak kata-kata ajaib tentang kesehariannya. Merayakan rilis album keduanya, Gajah, saya selalu tertarik melihat bagaimana Tulus memaknai semuanya, maka pantaslah dari segi lirik semua lagu-lagunya mempunyai metafora yang sangat menyenangkan.

Percakapan pertama dan terakhir.

$
0
0

Sebuah percakapan bisa dimulai dari sebuah ketertarikan. Apa yang bisa kau uji dan cari dari lawan bicaramu. Apakah sebuah pertemuan akan berakhir menyenangkan, ataukah kita hanya menjadi 2 manusia dengan balon pikiran masing-masing. Menjadi individu yang berbeda isi kepala.

Setelah 2 kali berpindah tempat, akhirnya kami memutuskan untuk singgah di sebuah kafe di bilangan wilayah Lasinrang. Sayup-sayup suara Sarah MacLachlan bersenandung sewaktu kami hendak duduk. Kami sontak berujar dan menyebutkan nama yang sama. Tidak lupa menyebutkan Angel sebagai lagu paling terkenal dari sang penyanyi. Sebuah intro yang menyenangkan, mengetahui bahwa selera musiknya lumayan.

Matanya menelusuri barisan menu yang ada. Memilih apa yang hendak dicicipi, sambil sesekali bertanya bahan dasar makanannya. Akhirnya dia memilih saya Avocado Frappucino dan saya memesan hot chocolate. Setelah serangkaian makanan yang masuk di lambung selama seharian tentu saja saya tidak mau terlihat bodoh, kalau saja sang perut nanti berkhianat. Kami memulai pembicaraan dengan pertanyaan standar, kerja dan menetap dimana, makanan favorit, dan rahasia mengapa dia terlihat begitu menarik.

Percakapanpun semakin mengalir. Diantara lalu lalang suara kendaraan yang sesekali terdengar, dia berbicara tentang masa lalunya, tentang kuliah, kerjaan dan pengkhianatan yang dialaminya. Saya hanya sesekali menanggapi dan berbagi beberapa pengalaman yang sama. Bagaimana sebuah persoalan asmara bisa menjadi pelik karena satu dan lain hal. Banyak orang bilang bahwa tabu membicarakan mantan pada pertemuan pertama, tapi entah siapa yang memulai topik tersebut dan membuat kami terjebak tentang kisah cinta pertama masing-masing. Saya bercerita bahwa pernah ada seseorang yang pernah saya titipkan harapan dan saling bersurat selama 3 tahun melalui perantara kakaknya (ah, masa-masa itu!)

album tulus dan lonely planet yang menjadi teman kami

album tulus dan lonely planet yang menjadi teman kami

Pukul 10 malam telepon selularnya berbunyi–dia berkata bahwa itu adalah ibunya–yang dipanggilnya dengan sebutan mami. Mengecek dimanakah anaknya berada (dan bersama siapa). Saya sontak tersenyum, ternyata masih ada orang yang seusia dia masih ditelpon orang tuanya.

“Iya, memang saya anak mami. Kau boleh tertawa untuk itu”.

Rupanya dia membaca senyumku. setelah meneguk sedikit minumannya dia pun lanjut bercerita tentang kepergian ayahnya di usia 5 tahun, sehingga dia menjadi lebih dekat dengan sang ibu. Dalam percakapan selama satu setengah jam, dia sendiri heran dengan dirinya, bisa merangkum seluruh perjalanan hidupnya pada satu orang asing, yang dikenalnya hanya melalui perantara beberapa pesan singkat.

Kami pun menuntaskan minuman dan berkemas, ketika pelayan kafe mengatakan bahwa mereka akan segera tutup dan bertanya apakah masih ada yang ingin kami pesan. Sekali lagi telepon selularnya berbunyi, dia “laporan” lagi bahwa dia sudah di perjalanan menuju rumah.

“Mengapa kita baru bertemu sekarang yah,” katanya sambil tertawa kecil.

“Karena Tuhan mempunyai skenarionya sendiri,” jawabku.

Kami pun siap berpisah malam itu, ketika dia tiba-tiba berkata,

“Besok kita ngobrol lagi yah, tapi mungkin saya bisa agak sore. Soalnya ada acara nikahan teman dari siang. Penerbanganku hari selasa pagi kok ke Kendari”

Saya hanya tersenyum.

Besok sore saya juga meninggalkan kota ini, menuju tempat lain. Sepertinya tidak ada pertemuan lain kali.

Tuhan memang punya selera humor yang tinggi.

Madam Wong, 30 Maret 2014.

Reality bites : galau sekolahan.

$
0
0

Hai halo XD, galau itu dimana-mana emang tidak enak yah. (tiba-tiba datang dan curhat).

Setelah masa 6 bulan Pre-Departure Training yang dilalui dengan penuh perjuangan bersama The Class of Anarchy di dua tempat yang berbeda, sekarang persiapan sekolahnya memasuki fase yang baru, harap-harap cemas akan diterima dimana!

Rupanya banyak orang yang salah paham, berpikir bahwa setelah menerima program beasiswa saya hanya tinggal mengikuti training persiapan selama 6 bulan dan voila! Semuanya beres. Tinggal memilih kampus yang diinginkan. Meh! Maunya sih juga begitu tapi, ternyata realita selalu mengatakan lain XD.

Foto oleh Maria Sjödin

Foto Stockholm oleh Maria Sjödin

Saya masih ingat rasanya pontang-panting mendaftar universitas di bulan Januari (transkrip nilainya mana! Statement of purposenya mana! Grading nilainya mana!). Deadline beberapa universitas di Eropa adalah 15 dan 31 Januari. 3 universitas yang saya incar adalah Stockholm, Goethenburg dan Helsinki. Sebenarnya dulu saya memilih Helsinki sebagai prioritas, dengan major Global Media Communication, tapi gak mungkin berperang hanya dengan 1 pilihan. Jadilah tambahan 2 area di Swedia itu.

Masalahnya adalah.

Pengumumannya ternyata tidak bersamaan.

Hoaah. *tarik napas dulu*

Setelah menunggu 7 purnama dan beberapa kali sesi banjir di Jakarta, maka selesailah program PDT dan episode mengejar busway ke Tosari. Tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu dan berdoa. Pengumuman kelulusan untuk wilayah Swedia adalah tanggal 27 Maret dan wilayah Finlandia adalah pertengahan sampai akhir April.

Sekali lagi Tuhan memang baik. Setelah tidak tidur sehari semalam dengan frekuensi makan yang sangat berlebihan *toyor perut*, tanggal 27 tiba! Setelah secara sporadis mengecek website University Admission, Alhamdulillah! Saya termasuk dalam daftar Admitted sebagai mahasiswa baru walaupun belum Unconditional. Bukan di Waiting List atau Rejected.

Foto Helsinki via http://hdwallpapers.com

Foto Helsinki via http://hdwallpapers.com

Persoalan baru dimulai sekarang. Bahkan untuk mendaftar universitas pun disertai dengan deramah. Saya sendiri gambling, apa mau mengambil Stockholm University atau menunggu pengumuman dari Helsinki. Batas waktu dari Stockholm hanya sampai tanggal 10, termasuk pembayaran untuk Tuition Fee, dan masuk untuk putaran kedua (ini memangnya arena perang? Ada ronde duanya?) Well, bingung.

Sebenarnya kalau menurut keinginan pribadi, saya hendak bermain aman. Daripada menunggu kepastian (dari kamu) yang belum jelas. Tapi kalau mengingat kembali proses pendaftaran di Helsinki (yang membuat saya dua kali balik ke Makassar urus dokumen), semuanya kembali ke ego. Dengan semua tantangan yang sulit itu, apa saya berhasil melaluinya atau tidak.

Bagaimana membuat galau berkurang? Selama beberapa hari saya akhirnya membuat perbandingan antara hidup di Stockholm dan Helsinki. Berapa biaya hidup yang diperlukan selama sebulan (sama-sama mahal!), mata kuliah dan kemungkinan survive, serta tentu saja lokasi wisata yang bisa dijangkau selama sekolah (tujuan utamanya lah!). Brainstorming dengan beberapa orang justru menghasilkan pendapat yang berbeda-beda. Tapi dominan mengatakan untuk menyelamatkan posisi dulu. Siapa tahu memang rejekinya di Stockholm. Kalau tanta Anna sendiri berkata,

“dua-duanya baik kok. Tetapkan hati saja dan urus dokumennya langsung”

Hahaha. Jadi kemana kita akan melangkah? Stockholm atau Helsinki? *crossfinger*

Album Review : Jason Chen ~ Never For Nothing

$
0
0

Ketika orang menyangka tidak ada yang bisa mengalahkan formula anti-move on dari track The Man Who Can’t Be Moved, maka silahkan dengar album dari penyanyi Taiwan kelahiran Amerika, Jason Chen. Dosis galaunya rasanya sudah sangat keterlaluan. Tapi kenapa saya mendengarkannya juga? Ya menurut ngana? Galau itu default, jendral!

image via itunes.com

image via itunes.com

Seperti terlihat klise, tetapi memang rasanya album ini didedikasikan untuk mereka yang memang masih mempunyai sisa-sisa perasaan dan menjadikan kenangan sebagai asupan untuk hidup. Oke sip. Dengan beat-beat RnB yang easy listening, kita akan mendengarkan cerita Jason Chen untuk move-on (Still in Love, Time Machine) sampai tentang persoalan masih-oke-kok-berteman-dengan-mantan, walaupun rasanya tetap menyakitkan (Invisible, Losing My Head).

Iqko! Kamu memang masokis!

Tidak seperti karir artis jebolan Youtube yang lain, syukurlah Jason Chen menemui jalannya untuk memulai karir secara professional. Di kanal Youtube kita masih bisa menemukan lagu-lagunya yang terbaru. Dia juga sudah merilis 4 buah album dan mendapat tempat khusus di tanah Mandarin.

Selain memiliki alur cerita yang terlihat jelas di album Never For Nothing, vokal Jason Chen sangat layak dinikmati. Walaupun tidak sangat disarankan mendengarkan albumnya terus-menerus (I Hate Sorry, Never For Nothing). Dia mengajarkan bahwa malam-malam gelap akan terlalui juga dan bagaimana merapikan semua kenangan untuk melangkah lagi. Dengarkan suara piano yang mendominasi di setiap lagu! Menjadikan album ini bisa dinikmati kapan dan dimana saja.

Untuk sebuah album yang terasa sangat personal, Jason Chen mampu menghadirkan sosoknya sebagai seorang pencerita yang baik. Jadi, siapa yang belum bisa move-on? *eh

I wanted to move on
But unlike you, I’m not that strong
(Jason Chen – Still In Love)

Viewing all 120 articles
Browse latest View live